Hikmah

30 Juz atau Juz 30?

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)

Saya jeda dulu sementara mengulas modal sosial, secara umum. Saya mengajak mencermati modal sosial yang lebih spesifik dan unik, "modal hafalan", sekaligus sebagai serba-serbi memperingati Nuzul Qur'an. Apa masih ingat bagaimana cara anda mulai belajar membaca Al-Qur'an? Guru mengaji saya di kampung membakarkan potongan lembar Al-Qur'an dan abunya dicampur ke air, dan diminum sampai habis.

Saya tidak pernah tanya maksudnya karena saat itu belum bisa berpikir kritis, tapi yang utama karena takut pada guru mengaji. Guru mengaji wajib ditakuti dan diikuti, karena kalau kurang sopan, tidak dikasih pindah ke bacaan berikutnya, meskipun sudah lancar.

Saya hanya mencoba tahu bahwa itu cara guru mengaji saya untuk memasukkan ayat-ayat Al-Qur'an ke dalam tubuh yang bisa berdampak pada kemampuan mengaji. Karena abu ayat-ayat Al-Qur'an akan menjadi bagian dari darah atau nadi, sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari Al-Qur'an.

Saya tidak tahu apakah anak mengaji guru kami, yang diberi minum yang bercampur abu kertas Al-Qur'an, semua memiliki kemampuan mengaji yang baik. Susah untuk mencari korelasinya. Namun, saya kemudian menerjemahkan bahwa apa yang dilakukan guru mengaji saat itu adalah sebuah bentuk "ikhtiar".

Lalu tumbuhlah kami menjadi orang yang memiliki kemampuan mengaji yang berbeda, seiring dengan intensitas kami belajar mengaji. Yang masuk ke pesantren tentu mengajinya lebih bagus. Yang masuk ke lembaga penghafalan, menjadi hafidz. Yang pergi ke sekolah agama, mengajinya rata-rata baik. Yang masuk ke sekolah umum, tetapi rajin mengikuti kajian, bacaannya biasanya lebih tertib. Ada juga sejak tamat dari guru mengaji, tidak pernah lagi mengaji.

Intensitas mengaji kita dari usia muda yang rupanya menentukan berapa jumlah surat yang kita hafal. Hafalan itu menjadi penting, bukan karena kita ingin jadi imam shalat tarwih, atau imam rawatib di masjid, tapi untuk perbekalan saat melakukan salat lima waktu. Intensitas mengaji kita-lah yang menentukan sehingga ada yang hafal 30 juz dan ada yang hafal juz 30, atau bagian akhir dari juz 30. Dari intensitas inilah yang akan menjadi "modal personal" dan "brand" keagamaan kita, yang berdampak secara kondisional menjadi "modal sosial".

Muncullah banyak anekdot yang terkait dengan hafalan Al-Qur'an. Salah satu yang umum adalah berikut ini. Tersebutlah seorang ayah mengetes tiga pemuda yang datang melamar anak perempuannya. Ayah ini adalah seorang santri, dan dia harus memastikan bahwa calon menantunya memiliki banyak hafalan.

Singkatnya, dia tanya pemuda pertama. Siapa namamu? Dia menjawab, Ikhlas. Lalu disuruh menghafal surat al-Ikhlas. Pemuda itu dengan percaya dirinya menghafalkan surat pendek tersebut. Lalu pemuda kedua dipanggil, siapa namamu? Nama saya, Kausar. Disuruh menghafal surah al-Kautsar. Dengan tenang pemuda itu menghafal surat terpendek dalam Al-Qur'an. Pemuda yang ketiga keringat dingin, lalu Ayah perempuan itu bertanya mengapa keringat begitu padahal belum ditanya. Siapa namamu? Pemuda ketiga itu menjawab, nama saya Yasin, tetapi teman-teman memanggil saya: Kulhu.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Hikmah Lainnya Lihat Semua

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Koordinat
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Nol
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Kumpul
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Temu
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Jenuh

Artikel Lainnya Lihat Semua